Lompat ke isi utama

Artikel

Citra Positif Bawaslu: Modal Sosial yang Harus Dijaga dengan Integritas

logo

Survei Litbang Kompas yang dirilis pada 24 Januari 2025 menunjukkan hasil yang menggembirakan bagi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dalam survei tersebut, Bawaslu menempati posisi kedua dalam daftar lembaga negara dengan citra paling positif menurut persepsi publik, yakni sebesar 81,6 persen. Posisi ini berada di bawah Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang memperoleh 94,2 persen. Hasil ini bukan hanya menjadi capaian membanggakan, melainkan juga menandai pentingnya peran Bawaslu dalam mengawal demokrasi dan menjaga integritas pemilu.

Citra positif tersebut merefleksikan peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap Bawaslu sebagai institusi pengawas pemilu. Jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, kepercayaan publik kali ini menunjukkan tren peningkatan yang signifikan. Ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai mengakui kinerja dan komitmen Bawaslu dalam menjalankan tugasnya secara profesional, netral, dan responsif. Namun, pengakuan ini juga menjadi tanggung jawab besar yang harus dijaga dan ditingkatkan.

Kinerja dan Harapan Publik: Dua Pilar Citra Positif

Citra baik yang diraih Bawaslu tentu tidak terjadi dalam sekejap. Kepercayaan ini dibangun melalui kerja konkret yang dilakukan selama tahapan Pemilu 2024. Bawaslu aktif melakukan pencegahan pelanggaran melalui pendekatan partisipatif, edukasi politik, serta penguatan kapasitas pengawas ad hoc dari Tingkat kecamatan, desa hingga Pengawas TPS. Dalam proses ini, Bawaslu melibatkan masyarakat sipil sebagai mitra pengawasan, yang tidak hanya meningkatkan partisipasi warga dalam proses demokrasi, tetapi juga memperluas cakupan pengawasan di lapangan.

Tidak hanya itu, respons cepat terhadap isu-isu krusial seperti kampanye terselubung, politik uang, dan penyalahgunaan fasilitas negara menjadi indikator bahwa Bawaslu berupaya menunjukkan kehadirannya secara aktif dan relevan. Penyusunan pedoman teknis pengawasan dan penguatan komunikasi publik melalui berbagai kanal media juga mendukung narasi bahwa Bawaslu memang menjalankan peran strategisnya secara optimal.

Namun, di sisi lain, tidak dapat diabaikan bahwa citra juga dibentuk oleh ekspektasi dan harapan masyarakat. Komunikasi publik yang konsisten, kehadiran aktif di media sosial, serta narasi kelembagaan yang kredibel turut membentuk persepsi masyarakat bahwa Bawaslu adalah lembaga yang layak dipercaya. Dalam konteks ini, kepercayaan publik merupakan campuran antara hasil kerja nyata dan proyeksi idealisme terhadap pengawasan pemilu yang adil.

Oleh karena itu, keberhasilan Bawaslu dalam meraih citra positif sebaiknya tidak dimaknai sebagai pencapaian yang final. Justru, ini menjadi modal sosial yang harus dirawat dan ditransformasikan menjadi energi untuk perbaikan kelembagaan secara terus-menerus. Sebab di tengah iklim demokrasi yang dinamis, kepercayaan publik dapat berubah seiring dengan performa dan konsistensi lembaga dalam menjalankan mandatnya.

Tantangan Nyata di Balik Citra Baik

Tingginya citra publik terhadap Bawaslu perlu disikapi secara bijak dan reflektif. Di balik pengakuan tersebut, terdapat sejumlah tantangan krusial yang harus dijawab oleh Bawaslu sebagai lembaga negara yang mengemban amanah pengawasan pemilu. Salah satu tantangan utama yang terus menjadi sorotan adalah keterbatasan kewenangan Bawaslu dalam hal penindakan pelanggaran. Ketika ditemukan pelanggaran yang bersifat substantif, seperti politik uang atau penyalahgunaan sumber daya negara, Bawaslu kerap kali hanya dapat memberikan rekomendasi administratif tanpa dampak hukum yang memadai.

Kondisi ini menciptakan persepsi bahwa lembaga pengawas tidak cukup kuat untuk memberikan efek jera, dan dalam jangka panjang bisa mengikis kepercayaan masyarakat. Keterbatasan kewenangan ini harus dibaca sebagai sinyal bagi pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan revisi regulasi pemilu yang dapat memperkuat otoritas Bawaslu dalam menindak tegas pelanggaran pemilu yang serius.

Selain itu, tekanan politik juga menjadi ujian berat, terutama ketika Bawaslu harus mengawasi peserta pemilu yang memiliki akses kekuasaan. Independensi lembaga seringkali diuji dalam situasi yang sensitif ini. Isu internal seperti distribusi kualitas SDM, kesenjangan kompetensi pengawas ad hoc, serta konsistensi koordinasi antara pusat dan daerah juga memengaruhi efektivitas pengawasan. Masalah ini semakin terasa dalam pemilu serentak yang cakupannya sangat luas dan kompleks.

Tantangan lain adalah dinamika kampanye di ruang digital. Dalam era informasi seperti sekarang, disinformasi, ujaran kebencian, dan pelanggaran kampanye banyak terjadi di media sosial. Sayangnya, belum semua jajaran Bawaslu memiliki kemampuan teknis yang memadai untuk melakukan deteksi dini dan respons cepat terhadap pelanggaran digital ini. Akibatnya, banyak pelanggaran yang lolos dari pengawasan atau tidak ditindak secara proporsional.

Dengan demikian, capaian citra positif harus menjadi pijakan untuk melakukan pembenahan dan inovasi. Jangan sampai kepercayaan publik yang tinggi ini berubah menjadi kekecewaan karena ketidaksiapan lembaga dalam menjawab tantangan-tantangan nyata yang ada di lapangan.

Menjaga Amanah Publik: Langkah Strategis ke Depan

Untuk mempertahankan dan memperkuat citra positif yang telah diraih, Bawaslu perlu menempuh sejumlah langkah strategis secara terencana dan berkelanjutan. Pertama, penguatan sistem internal lembaga harus menjadi prioritas. Bawaslu perlu terus memastikan bahwa seluruh jajaran pengawas, dari pusat hingga Pengawas TPS, memiliki kapasitas, integritas, dan pemahaman regulasi yang setara. Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan harus menjadi bagian dari sistem pengembangan sumber daya manusia.

Kedua, Bawaslu perlu berani mendorong perubahan regulasi. Revisi terhadap Undang-Undang Pemilu, khususnya pasal-pasal yang membatasi kewenangan penindakan, harus menjadi agenda advokasi kelembagaan. Tanpa kewenangan yang memadai, pengawasan tidak akan efektif. Dalam hal ini, kemitraan strategis dengan DPR, pemerintah, dan masyarakat sipil menjadi kunci.

Ketiga, penguatan transparansi dan komunikasi publik harus terus dikembangkan. Kanal-kanal komunikasi digital seperti website, media sosial, dan platform pengaduan online harus dioptimalkan untuk menyampaikan informasi, menerima laporan pelanggaran, serta membangun hubungan interaktif dengan masyarakat. Transparansi bukan hanya soal membuka data, tetapi juga membangun ruang dialog yang sehat dan edukatif.

Keempat, inovasi dalam pengawasan berbasis teknologi harus terus ditingkatkan. Bawaslu dapat mengembangkan sistem pengawasan digital terintegrasi yang memanfaatkan kecerdasan buatan (AI), big data, dan machine learning untuk memantau kampanye daring, pola sebaran hoaks, dan potensi pelanggaran lainnya. Dengan teknologi ini, Bawaslu bisa lebih adaptif terhadap perubahan strategi kampanye digital yang makin kompleks.

Langkah-langkah ini akan memperkuat posisi Bawaslu sebagai lembaga yang tidak hanya memiliki legitimasi dari publik, tetapi juga kapasitas kelembagaan yang kuat dan berdaya tanggap tinggi terhadap dinamika demokrasi.

Peran Bawaslu di Masa Non-Tahapan: Menghidupkan Fungsi Pengawasan Berkelanjutan

Tantangan besar bagi Bawaslu bukan hanya saat tahapan pemilu berlangsung, tetapi juga pada masa non-tahapan ini, perhatian publik terhadap kerja Bawaslu biasanya menurun, dan kegiatan pengawasan pun sedang tidak berlangsung. Masa ini merupakan peluang emas untuk melakukan konsolidasi kelembagaan dan memperkuat fondasi pengawasan jangka panjang.

Pertama, Bawaslu perlu fokus pada penguatan pendidikan politik kepada masyarakat. Masyarakat perlu dipahamkan bahwa pemilu bukan sekadar peristiwa lima tahunan, melainkan bagian dari proses demokrasi yang berkelanjutan. Melalui kegiatan literasi kepemiluan, diskusi publik, dan kolaborasi dengan lembaga pendidikan, Bawaslu bisa membentuk masyarakat yang lebih sadar hukum dan kritis terhadap proses politik.

Kedua, Bawaslu harus terus membangun sistem deteksi dini terhadap potensi pelanggaran atau konflik kepemiluan. Pemantauan terhadap proses politik di daerah, pergerakan kekuatan politik lokal, dan manuver kekuasaan harus tetap dilakukan, meskipun belum memasuki tahapan resmi pemilu. Ini akan membantu Bawaslu lebih siap saat tahapan resmi dimulai.

Ketiga, peran Bawaslu dalam advokasi kebijakan juga perlu diperkuat. Masa non-tahapan dapat digunakan untuk menyusun kajian, evaluasi pelaksanaan pemilu sebelumnya, dan memberikan rekomendasi kebijakan kepada pembuat undang-undang. Dengan peran advokatif ini, Bawaslu tidak hanya menjadi lembaga teknis pengawas, tetapi juga aktor penting dalam reformasi sistem kepemiluan.

Keempat, membangun sinergi kelembagaan. Dalam situasi tanpa pemilu, Bawaslu dapat lebih intens membangun kemitraan dengan KPU, DKPP, media, LSM, akademisi, dan aparat penegak hukum untuk merancang kerangka pengawasan kolaboratif dan membangun sistem pengawasan berbasis masyarakat yang berkelanjutan.

Dengan demikian, Bawaslu akan tetap relevan dan produktif dalam masa jeda kepemiluan. Fungsi pencegahan, sebagai salah satu pilar penting Bawaslu, tidak berhenti hanya karena tidak ada pemilu. Dan pada masa ini, Bawaslu bisa lebih optimal dalam melakukan penataan institusi, juga diharapkan dapat melakukan lompatan institusional yang akan memperkuat kapasitasnya saat kembali masuk dalam tahapan pemilu berikutnya. Keberlanjutan inilah yang akan menjadikan Bawaslu sebagai lembaga pengawas yang terus dipercaya oleh masyarakat di Indonesia.

Penulis: Muhammad Hafidh

Artikel